“Kenapa Ada Rasa Bersalah Saat Mengambil Liburan?” dan kenapa itu tanda bahaya, bukan integritas.
Kalau kamu termasuk orang yang merasa bersalah saat mengajukan cuti, bahkan saat sudah libur pun masih diam-diam mengecek email kerjaan, kamu tidak sendiri.
Aneh memang—di saat tubuh sedang liburan, pikiran justru tetap duduk manis di balik meja kerja. Rasanya seperti kabur dari misi mulia, meninggalkan tanggung jawab yang sudah jadi bagian dari identitas diri.
Masalahnya, rasa bersalah ini bukan datang karena kamu malas bekerja. Justru sebaliknya. Ini muncul karena kamu begitu ingin menjadi versi terbaik dari dirimu—termasuk dalam hal profesionalitas.
Kamu ingin hadir sepenuhnya, ingin bisa diandalkan, ingin tetap memegang kontrol. Dan dalam banyak kasus, kamu menganggap bahwa “kerja tanpa henti” adalah satu-satunya cara terbaik menjalani kehidupan.
Tapi tahukah kamu? Pola ini bukan cuma bikin capek. Ia juga bisa mengikis kemampuan kita untuk benar-benar produktif.
Bukan Soal Liburan, Tapi Soal Mindset Kebablasan.
Penelitian dari American Psychological Association menunjukkan bahwa banyak profesional modern mengalami yang disebut sebagai “workcation mindset”—sebuah gabungan kata yang saling bertolak belakang. Fisiknya ada ditempat liburan tapi mental dan ruang berpikirmu masih memegang urusan kerja.
Studi lain dari Harvard Business Review bahkan mengungkap bahwa lebih dari 60% pekerja tetap memeriksa email kerja saat cuti, dan 30% merasa malu jika tidak melakukannya.
Ini bukan karena perusahaan menuntut secara eksplisit, tapi karena budaya kerja (atau itu malah standar pribadimu yang menuntut terlalu tinggi atau berlebihan) membuat kita merasa bahwa istirahat = miskin integritas.
Padahal, taking a break is not slacking off—it’s strategic renewal. Mengambil jeda bukan berarti malas-malasan—tapi cara strategis untuk memperbarui energi dan performa. Ini investasi biar kita bisa maju lebih tajam. Sebaliknya kalau kita terus bekerja tanpa berhenti, lama-lama kualitas kerja menurun, fokus menipis, kreativitas mandek.
“Can’t switch off” bukan prestasi
Kita sering merasa bangga bisa tetap “on” kapan saja. Tapi sebenarnya, otak manusia dirancang untuk bekerja dalam siklus. Tanpa jeda, kita kehilangan kapasitas untuk berpikir jernih, mengambil keputusan tepat, dan berempati.
Idiom yang pas untuk ini: “Burning the candle at both ends.”
Artinya: kamu menyalakan lilin dari dua ujung—cepat terang, tapi lebih cepat habis.
Sayangnya, rasa bersalah karena istirahat membuat kita sulit percaya bahwa liburan adalah bagian dari proses menciptakan hasil terbaik. Kita curi-curi waktu kerja di selingi jalan-jalan, lalu merasa “berprestasi” karena tetap produktif. Padahal itu semu. Yang sebenarnya terjadi: kita kehilangan waktu untuk benar-benar recharge.
Tips Recovery untuk yang Tetap Mau Berprestasi Tapi Nggak Kehilangan Diri
- Tentukan batasan, bukan cuma tujuan.
Kerja keras memang penting, tapi tanpa batasan yang jelas, semua pencapaian hanya akan terasa hampa. - Latih otot kepercayaan pada tim.
Memberi ruang pada orang lain untuk mengambil alih bukan berarti kamu tidak berguna. Justru itu tanda kamu membangun sistem yang berkelanjutan. - Jadikan liburan bagian dari strategi kerja, bukan jeda dari kesalahan.
Semakin kamu melihat liburan sebagai kebutuhan biologis dan psikologis, bukan sebagai kemewahan, semakin ringan kamu menjalaninya. - Practice ‘mental offboarding’.
Sama seperti kamu bikin serah terima kerja, bikin juga ‘serah terima pikiran’. Tulis, delegasikan, lalu lepaskan. - Rayakan istirahat seperti kamu merayakan pencapaian.
Karena di titik lelah itulah, biasanya kita menemukan ide terbaik dan motivasi paling jujur.
Pesan Mindful-nya:
Kamu bagusnya ingat, kalau ada kalimat jangan malas dalam bekerja, perlu juga ditambahkan, jangan bingung kalau perlu berlibur.
Cuti bukan ancaman bagi will power-mu—ia justru memperpanjang umur kontribusimu.
Next time kamu merasa bersalah karena liburan, ingat ini:
“You can’t steer the ship if you’re drowning.”
(Kamu nggak bisa jadi nakhoda kalau kamu sendiri udah kelelep.)
Jadi, ambillah waktu. Bukan untuk lari, tapi untuk kembali dengan penuh daya.
