Logika Tidak Bisa Merubah Rasa Takut

Kita sering merasa harus logis dulu untuk bisa bergerak.
Rasa takut dianggap musuh, dan akal sehat jadi tameng.

Tapi nyatanya, banyak ketakutan tetap tinggal di dalam, meski semua logika sudah bicara.
Bahkan setelah dihitung-hitung risikonya, ditimbang-timbang peluangnya, tetap saja kamu merasa… takut.

Kenapa begitu?

Karena rasa takut bukan sesuatu yang bisa disingkirkan dengan argumen. Ia bukan musuh yang bisa dilawan dengan “fakta”.
Ia adalah bagian dari mekanisme perlindungan dalam dirimu—yang kadang keliru mengira perubahan sebagai ancaman.

Makanya, kamu bisa punya semua alasan logis untuk mulai, tapi tubuhmu menolak.
Hatimu menahan.
Langkahmu kaku.

Dan kamu mulai curiga:
“Jangan-jangan ini pertanda aku belum siap.”
“Jangan-jangan feeling-ku bilang jangan.”

Padahal, kadang itu “cuma bias” yang menyamar jadi “intuisi”.

Bias apa?
Bias ketakutan. Bias pengalaman lama. Bias gagal yang belum selesai diproses.
Semua itu bisa membungkus dirinya jadi saran penuh “kewaspadaan”, padahal diam-diam sedang membatasi hidupmu.

Makanya, kuncinya bukan sekadar mencari alasan logis. Tapi mendengarkan dengan jujur:
Apakah rasa takut ini ingin melindungiku… atau justru menahanku dari bertumbuh?

Kalau kamu bisa duduk tenang dan tanya itu dengan lembut, jawabannya akan muncul.
Dan sering kali, jawabannya bukan “Jangan mulai dulu.”
Tapi: “Boleh kok, mulai… tapi pelan-pelan aja, nanti juga akan ketemu orang dijalan kasi pencerahan.”

Itu yang kadang dibutuhkan.
Izinkan dirimu tetap berpikir menemukan solusi, meski belum pasti.
Izinkan kaki tanganmu tetap bergerak, meski sambil gemetar.
Izinkan keyakinanmu tetap hadir, meski belum semua bagian dari dirimu ikut berlari.

Kita manusia. Bukan robot yang butuh kode sempurna untuk jalan.
Kadang kita cukup bertemu dengan sisi diri yang ragu, dan bilang:
“Ayo bareng-bareng. Kita coba pelan-pelan, ya?”

Dan di situlah momen magis terjadi:
Rasa takut perlahan turun.
Keberanian muncul bukan dari hilangnya rasa takut, tapi dari kesediaan untuk tetap jalan bersamanya.

Jadi, kalau kamu merasa logikamu benar tapi langkahmu tetap tertahan,
jangan buru-buru menyalahkan dirimu.
Mungkin kamu hanya sedang butuh seseorang—atau sesuatu—yang bisa menemani langkah pertamamu, siapapun dia, bisa teman lama, teman baru, atau malah stranger.

Mungkin, yang kamu butuhkan bukan strategi, tetapi langkah taktis yang pendek dan langsung take action, tapi nanti ketemu gerak lanjutannya.

Buat langkah awalnya, loe bisa pilih langkah affirmation action yang bertahap bikin loe jadi ringan melangkah. Ngga perlu semuanya, tapi lakukan yang paling loe bisa. Tapi ada syarat, jangan kebanyakan mikir:

  • Break it down, don’t break down. Pecah langkah besar jadi satu gerakan kecil yang doable sekarang juga.
  • Lakukan dulu yang lo tahu, bukan yang lo tunggu. Aksi kecil lebih ngalahin takut besar.
  • Tulis ketakutan lo, bukan ditelen mentah-mentah. Begitu ditulis, banyak ketakutan yang ternyata cuma overthinking.
  • Gerak dulu, mikir bisa nyusul. Kadang tubuh butuh sinyal bahwa lo masih hidup—walau cuma langkah kecil.
  • Jangan tanya ‘siap atau nggak’, tapi ‘mau mulai dari mana’. Siap itu overrated, mulai itu yang real.
  • Ingat: takut bukan tanda lo lemah, tapi tanda lo sedang keluar dari zona nyaman.
  • Progress > perfect. Melangkah 10% tetap lebih keren dari nunggu 100% yakin.
  • Minta temen nemenin, bukan jadi penyelamat. Kadang cukup ada yang duduk sebelah lo, tanpa harus ngasih solusi.
  • Ngaku takut itu awal dari keberanian. Nggak usah sok kuat, yang penting lo tetap jalan.

Buat melengkapinya, siapa tahu… panahan bisa jadi cara awal untuk memulai langkah-langkah diatas..Satu busur, satu anak panah, satu napas panjang… dan satu biidikan mantap ke depan.

 

Similar Posts