Atasan Suka janji – Team Member Demen Nagih
“Ketika Hubungan Tim Jadi Transaksi Berkedok Apresiasi”
“Kalau proyek ini sukses, kita jalan-jalan ke Bali, ya.” Kalimat yang terdengar seperti motivasi. Tapi sayangnya, sering kali tak lebih dari umpan. Tim yang awalnya biasa-biasa aja mendadak gaspol. Semua lembur. Banyak yang rela kerja di luar jam. Bahkan yang biasanya cuek jadi inisiatif. Tapi setelah proyek rampung dan sukses…? Kabar tentang Bali pun ikut menghilang seperti file yang lupa di-save. “You can’t build loyalty with empty promises.”..Loyalitas nggak bisa dibangun dengan janji kosong.
The Bait-and-Switch Culture (Pasang umpan, lalu batalkan diam-diam). Ini biasa dipakai di dunia bisnis yang kurang etis: janji satu hal untuk menarik minat, lalu berikan hal lain yang lebih murah atau lebih untung buat si penjual. Persis seperti yang terjadi dalam banyak tim kerja. Ucapan-ucapan seperti:
- “Nanti kalau ini sukses, kita usahakan insentif, ya.”
- “Kalau kamu bisa selesaikan bagian ini, saya ingat kontribusimu.”
- “Abis ini tenang aja, kamu pasti dapat giliran naik posisi.”
Semua itu terdengar menyenangkan. Tapi tanpa clear commitment, yang tersisa hanya ekspektasi kosong dan kelelahan kolektif. Yah semacam “Talk is cheap.”Ngomong doang itu murah
Transaksional = Sering Pahit di Belakangnya. Masalah utama dari hubungan kerja yang transaksional adalah ini: yang enak di depan, biasanya repot di belakang. Ketika tim mulai bekerja Karena Janji, bukan karena tanggung jawab atau komitmen, maka akan lahir pola berbahaya:
- Team member mulai menghitung semua kontribusi, bukan karena peduli hasil, tapi demi “Ada yang bisa ditagih nanti”.
- Manager merasa sudah cukup dengan motivasi lisan, padahal janji tanpa tindak lanjut = trust deficit. “Don’t write checks your body can’t cash.”..Jangan janjiin sesuatu yang kamu sendiri nggak bisa tepati.
- Situasi yang seharusnya jadi proses tumbuh bersama, berubah jadi barter diam-diam.
The Illusion of Reward Culture
Memberi insentif atau penghargaan itu sah. Tapi kalau semua dibungkus janji, dan tidak jadi sistem yang jelas, maka tim hanya belajar satu hal: “Only do more when there’s something extra promised.”..(Berusaha lebih hanya kalau ada tambahan dijanjikan.). Ini menciptakan budaya tim yang rapuh. Loyalitas hilang, motivasi bergantung pada ‘janji’ berikutnya. Dan ketika janji tak ditepati, kecewanya berkepanjangan.
Contoh-Contoh Pola Ini dalam Tim berbasis pola kerja Transaksional:
- Kerja ekstra selalu ditukar dengan ‘nanti kita lihat ya’
Yang artinya: tidak ada kepastian apa pun, tapi tim terus diminta gas. - Janji dibuat saat krisis, dilupakan saat tenang
Saat tekanan tinggi, atasan royal dengan kalimat manis. Tapi begitu aman, tak satu pun dibahas lagi. - Karyawan dipuji depan umum, tapi janji perbaikan tak kunjung nyata
“Kamu luar biasa!” katanya. Tapi promosi tetap jatuh ke orang lain.
Tips Menghindari Jebakan Ini:
1. Buat Sistem, Bukan Sekadar Ucapan. Kalau memang mau memberi reward—atur mekanisme jelasnya. Bukan spontanitas yang bergantung pada mood.
2. Evaluasi: Apakah Ini Apresiasi atau Umpan? Cek: apakah janji itu muncul konsisten dari hasil kerja nyata, atau cuma keluar saat tim dibutuhkan banget?
3. Bangun Motivasi Internal, Bukan Sekadar Harapan Eksternal. Leader yang baik fokus menumbuhkan rasa bangga dalam pekerjaan itu sendiri, bukan hanya mengejar bonus yang belum tentu datang.
4. Tanamkan Pemahaman: Tim Menyadari Nilai Kerja, Bukan Harga Jualnya. Tim yang hebat tahu bahwa kerja bagus adalah bagian dari integritas. Kalau pun ada penghargaan, itu bonus—bukan pengganti.
Penutup: Tim Bukan Toko, Hubungan Bukan Transaksi. Hubungan kerja yang sehat dibangun atas dasar saling percaya, bukan saling tagih. Kalau semua hal jadi barter, maka cepat atau lambat: “What starts as a reward ends up as resentment.” (Yang dimulai sebagai hadiah bisa berakhir jadi kekecewaan.). Kepemimpinan bukan soal janji, tapi kejelasan. Tim yang dihargai bukan karena dijanjiin, tapi karena dihormati, akan jauh lebih tahan banting dalam jangka panjang. Kalau kamu pemimpin, pastikan kamu tak sedang menciptakan budaya yang membuat timmu lebih sering ‘ngebet nagih’ daripada benar-benar tergerak untuk tumbuh. Karena tim terbaik bukan yang kerja demi janji—tapi demi rasa memiliki.
