McNamara Fallacy: Ketika Angka Menjadi Jebakan yang Tak Terlihat
Di dunia modern yang serba cepat, kita hidup dikelilingi angka. Target revenue, KPI, likes di media sosial, skor produktivitas, bahkan jumlah langkah harian di smartwatch. Angka membuat kita merasa aman, seolah-olah realitas bisa dijinakkan ke dalam spreadsheet. Namun, ada satu jebakan klasik yang sering menunggu di balik obsesi ini: McNamara Fallacy.
Istilah ini berasal dari Robert McNamara, Menteri Pertahanan AS di era Perang Vietnam, yang terkenal menilai keberhasilan perang hanya dari jumlah korban musuh dan angka statistik. Ia lupa satu hal: perang tidak hanya soal angka, tapi juga soal hati, moral, dan makna. Dan kita tahu, sejarah menunjukkan hasilnya. Di sini letak bahayanya: not everything that counts can be counted, and not everything that can be counted counts.
Dalam Leadership: Ketika Angka Mengaburkan Informasi Penting
Seorang pemimpin sering merasa berhasil ketika laporan bulanan menunjukkan tren naik: profit membaik, cost turun, target tercapai. Tapi apakah itu berarti timnya benar-benar sehat? Apakah kepercayaan antar anggota tim tumbuh? Apakah karyawan merasa dihargai?
Banyak leader terjebak pada “data yang mudah” karena terlihat jelas. Padahal, kualitas yang paling penting justru tersembunyi—seperti trust, psychological safety, atau rasa memiliki. Numbers don’t tell the whole story. McNamara Fallacy membuat banyak pemimpin sibuk mengejar short-term wins sambil kehilangan gambaran besar. Akhirnya mereka terjebak dalam pepatah: “winning the battle but losing the war.”
Dalam HR & People Development: Mengukur yang Sulit Diukur
Divisi HR adalah salah satu ladang subur bagi McNamara Fallacy. Kita sering melihat perusahaan hanya fokus pada angka absensi, jam training, skor survey, atau jumlah turnover. Padahal, engagement, trust, atau budaya organisasi yang sehat tidak bisa sekadar diukur dengan angka kaku. Seorang karyawan bisa hadir 100% setiap hari, tapi mentalnya sudah “absent” jauh sebelum jam kerja selesai. Sebuah tim bisa mendapat skor tinggi dalam training, tapi tidak pernah benar-benar mengubah perilakunya. Inilah kenapa banyak inisiatif people development gagal, bukan karena salah metode, tapi karena salah mindset. Terlalu fokus pada “what can be measured” dan mengabaikan “what truly matters.”HR sejati harus berani keluar dari jebakan McNamara Fallacy dengan cara menghargai narasi di balik angka. Kadang, satu percakapan jujur lebih bernilai daripada 100 halaman laporan survei.
Dalam Kehidupan Sehari-hari: Lebih dari Sekadar Statistik
Obsesi terhadap angka bukan hanya milik dunia kerja. Kita sendiri sering mengukur kualitas hidup dengan tolok ukur angka: gaji, jumlah followers, durasi kerja, atau steps counter di smart watch.
Padahal, angka hanya memberi kepastian semu. Seorang teman bisa punya 10.000 followers, tapi tak punya satu pun pendengar sejati. Seseorang bisa punya gaji besar, tapi kehilangan waktu bersama keluarga. Seorang atlet bisa menembus bullseye, tapi kehilangan inner calm yang seharusnya menjadi inti dari olahraga itu.
Seperti dalam panahan: hasil tembakan memang bisa dihitung, tapi kualitas fokus, kesabaran, dan keheningan batin tidak bisa ditulis di score sheet. The bullseye is not the ultimate goal—the journey is.
Menghindari Jebakan: Beyond the Numbers
Lalu bagaimana cara keluar dari jebakan McNamara Fallacy? Ada tiga langkah sederhana tapi menantang:
- Question the Metrics – Setiap kali kita terpesona angka, tanyakan: “Apakah angka ini benar-benar menggambarkan kenyataan, atau hanya sebagian cerita?”
- Value the Intangibles – Hargai hal-hal yang tidak mudah diukur: trust, integrity, sense of belonging, calmness. Ini seperti oksigen: tidak terlihat, tapi tanpanya, semua angka tidak ada artinya.
- Balance the Lens – Gunakan data kuantitatif sebagai kompas, tapi jangan lupa intuisi, percakapan, dan observasi sebagai peta. Karena pada akhirnya, the map is not the territory.
Penutup: Kembali ke Esensi
McNamara Fallacy mengingatkan kita bahwa angka bisa menipu, apalagi jika dipakai sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam leadership, angka bisa menutupi keretakan tim. Dalam HR, angka bisa menipu seolah-olah karyawan engaged padahal sudah lelah. Dalam kehidupan pribadi, angka bisa membuat kita lupa bahwa bahagia bukan soal berapa, tapi soal bagaimana.
Mungkin kita perlu sedikit lebih rendah hati terhadap angka. Gunakan mereka sebagai panduan, bukan sebagai penentu segalanya. Karena hidup—seperti panahan—bukan hanya tentang menghitung berapa kali kita mengenai target, tapi bagaimana kita hadir penuh di setiap tarikan busur.
At the end of the day, what makes life meaningful often lies beyond the numbers.
