Island of Privilege: Saat Pulau Kecil Jadi Kesayangan Lautan Organisasi
Dalam peta organisasi, sering ada satu unit kerja yang terasa seperti “pulau istimewa.” Semua yang diminta, cepat dikabulkan. Anggaran tambahan, alat terbaru, bahkan kursi ergonomis datang tanpa banyak birokrasi. Sementara unit-unit lain? Masih bergulat dengan fasilitas lama, proposal yang berdebu di meja manajer, atau sekadar pending approval yang entah kapan cair. Fenomena ini saya sebut sebagai Island of Privilege—sebuah pulau kecil yang mendapat cahaya lampu sorot, sementara lautan luas sekitarnya tenggelam dalam gelap.
Kalau dianalogikan dengan keluarga, ini mirip “golden child”—anak yang selalu jadi kesayangan, sementara saudaranya harus berjuang lebih keras untuk sekadar diakui. Dalam dunia kerja, ini bukan sekadar soal iri hati. Ini soal keadilan struktural yang, kalau dibiarkan, bisa menggerogoti semangat kolektif.
Contoh di Lapangan
Bayangkan sebuah perusahaan teknologi. Tim Innovation Lab yang digadang-gadang sebagai motor masa depan, selalu mendapat ruang kerja futuristik, anggaran pelatihan internasional, bahkan jam kerja super fleksibel. Tim Support? Mereka yang justru menjaga sistem tetap hidup 24/7, tetap bekerja di ruangan sempit dengan komputer jadul.
Hasilnya? Innovation Lab makin kinclong di mata CEO, tapi morale tim Support makin anjlok. Mereka mulai merasa jadi “second class citizen”. Lama-lama, bahkan ada yang keluar dengan kalimat pedas: “Why stay loyal if loyalty doesn’t pay?”
Kenapa Ini Berbahaya
Dalam jangka pendek, Island of Privilege mungkin terasa wajar: manajemen ingin mendukung “etalase” perusahaan. Tapi dalam jangka panjang, ini seperti robbing Peter to pay Paul. Organisasi kehilangan motivasi kolektif. Budaya kerja jadi timpang. Bahkan unit unggulan yang awalnya bersinar bisa jatuh karena kehilangan dukungan dari “laut luas” yang merasa dianaktirikan.
Lebih jauh, masalah ini bukan sekadar soal fasilitas, tapi soal keadilan struktural. Ketika sistem organisasi membiarkan satu unit selalu diutamakan, maka ketidakadilan itu berubah dari sekadar exception menjadi norm. Inilah yang berbahaya: favoritisme yang awalnya “sementara” akhirnya mengakar jadi budaya. Akibatnya, trust menurun, loyalitas melemah, dan kerjasama lintas unit jadi retak.
Apa yang Bisa Dilakukan Leader
- Audit Fairness Secara Berkala
Tanyakan pada diri sendiri: apakah resource allocation benar-benar berbasis kebutuhan, atau sekadar kebiasaan favoritisme? Transparansi dalam proses alokasi bisa jadi game changer. - Celebrate Unsung Heroes
Jangan hanya memberi spotlight pada tim “bintang panggung.” Sesekali angkat kisah sukses dari tim back office, logistic, atau support. Even the backstage keeps the show alive. - Diversify Investment
Seperti portofolio saham, organisasi perlu menyeimbangkan investasi. Jangan semua telur ditaruh di satu keranjang. - Train Empathy in Leadership
Pemimpin yang bijak belajar melihat organisasi bukan sebagai pulau-pulau terpisah, melainkan sebagai satu ekosistem. Tanpa laut, pulau itu tak ada artinya.
Bagaimana Unit Lain Bisa Mempengaruhi Keputusan Budaya Manajemen
- Bangun Data, Bukan Drama
Alih-alih mengeluh, unit-unit kerja lain terdorong untuk bisa mengumpulkan data: workload, backlog, keterbatasan resource, dan dampaknya terhadap hasil. Data yang jelas akan lebih didengar daripada sekadar curhat. Numbers don’t lie, but feelings do fade. - Kolaborasi Strategis
Daripada terjebak rivalitas dengan “pulau istimewa,” unit lain bisa menunjukkan nilai tambah lewat kolaborasi. Tunjukkan bahwa tanpa dukungan mereka, pulau itu tidak akan bertahan lama. - Gunakan Aliansi Internal
Seringkali keputusan manajemen lebih terpengaruh jika suara datang bukan dari satu unit, tapi gabungan beberapa unit. One voice may be ignored, but a choir gets the spotlight. - Framing ke Dampak Organisasi
Jangan hanya bicara soal “ketidakadilan.” Arahkan argumen ke “risiko organisasi.” Misalnya: turunnya retensi SDM, berkurangnya produktivitas, atau potensi kehilangan talenta. Pemimpin biasanya lebih sensitif terhadap risiko sistemik.
Penutup
Fenomena Island of Privilege bukan sekadar kebiasaan manajerial; ia adalah cermin bagaimana leadership menyeimbangkan fairness dengan strategi. Menjadi pemimpin berarti memastikan semua unit merasa bagian dari perjalanan, bukan hanya penonton dari tepian. Karena pada akhirnya, a rising tide lifts all boats—dan bukan hanya perahu di satu pulau saja.
