Karena Trust Issue Bukan Soal Siapa, Tapi Kapan Kamu Siap
“Aku tuh orangnya tidak mudah percaya orang lain, dan ketika aku minta tolong orang lain, itu pertanda hal yang buruk”, begitu kira-kira prinsip seorang temanku..
Dia anggap itu cerminan kemandirian, tapi nyatanya yang sedang dibicarakan lebih menggambarkan krisis kepercayaan, seolah apa yang ada disekitar lebih dimaknai sebagai ancaman eksploitasi.
Kejadian itu mewakili situasi yang dirasakan oleh kita yang berada dalam pusaran kehidupan dunia modern. Lebih seriusnya lagi, apapun yang kita capai, hasilnya selalu melelahkan, Lelah untuk mencapainya, lebih lelah lagi untuk menjaga boundaries kesehariaan disebabkan oleh soal trust issue.
Pertanyaannya, apa sebenarnya trust issue itu? Mengapa ia bisa begitu merusak, melelahkan, bahkan mengasingkan kita dari banyak hubungan dan kemungkinan baik dalam hidup?
Trust issue adalah kondisi di mana seseorang mengalami kesulitan untuk mempercayai orang lain, seringkali karena pengalaman masa lalu yang menyakitkan. Namun, yang tak banyak disadari, trust issue juga bisa muncul karena kita kehilangan kepercayaan terhadap intuisi dan cara kita menilai diri sendiri.
Secara umum, trust issue bisa dilingkungan pekerjaan, bisa pula terjadi dalam lingkup kehidupan hubungan pribadi diluar pekerjaan.
Bila itu kaitannya dengan pekerjaan, maka jalan keluarnya lebih mudah karena masih dalam ranah logika. Akan berbeda bila menyangkut hubungan pribadi dan menyentuh sisi emosional, solusinya lebih jauh lebih panjang, meski yakin saja tetap akan terselesaikan.
Diantara sekian banyak hal, penyebab trust issue bisa terwakili oleh beberapa situasi, diantaranya:
- Pernah dikhianati oleh orang terdekat
- Terlalu sering disalahkan meski berniat baik
- Dibesarkan di lingkungan penuh curiga dan kontrol
- Terlalu sering mengabaikan suara hati
Yuk kita coba melihat metafora-nya saat berlatih panahan. Biasanya orang yang memiliki masalah dengan trust issue akan menunjukkan gejala sebagai berikut:
- Posisi berdiri ritme gerak tubuh terlihat kaku
- Saat memegang busur tidak relaks
- Saat menarik tali busur terasa sangat berat dan tidak percaya pada kekuatan diri
- Saat membidik akan dipenuhi rasa ragu
Dan hasilnya, anak panah terbang lepas kurang terkontrol.
Saya pernah membimbing satu sesi pelatihan di mana seorang peserta berkata, “Saya baru sadar, ternyata saya nggak percaya sama keputusan saya sendiri.” Dia menangis. Bukan karena panahnya meleset. Tapi karena dia merasa terhubung dengan rasa sakit lama yang akhirnya bisa ia lepaskan.
Saat pertama kali seseorang belajar memanah, hal pertama yang harus dibangun bukan teknik, tapi rasa percaya—pada tubuhnya, pada matanya, pada ketenangannya sendiri. Kalau tanganmu gemetar, atau kau tak yakin dengan dirimu, anak panah itu akan bicara jujur. Ia akan keluar jalur. Dan tak bisa kau salahkan siapa-siapa.,
Rasa percaya itu muncul karena dilatih, sama seperti otot lengan yang perlahan menguat setiap kali kita menarik tali busur. Bidikan kita lebih terkontrol, karena kita percaya bahwa mata kita berfokus pada titik bidik. Juga hati kita lebih tenang tak terganggu oleh banyak distraksi.
Melalui panahan, kita berlatih bahwa kepercayaan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Ia tumbuh. Ia dilatih, sama seperti otot lengan yang perlahan menguat setiap kali menarik busur.
Panahan, bagi saya, adalah metafora sempurna untuk membangun kepercayaan. Ia tidak bisa instan. Tidak bisa diburu-buru. Dan justru dalam proses perlahan itulah kejernihan akan tercipta.
Lalu muncul pertanyaan: apakah trust bisa dibangun dalam waktu cepat? Jawabannya: tidak selalu. Tapi juga tidak selalu lama. Yang menentukan bukan waktunya, tapi kualitas momen dimana kita hadir sepenuhnya dalam proses itu.
Dalam panahan, kamu bisa belajar mempercayai:
– Tarikan busurmu, bahkan ketika tidak ada yang mengarahkanmu
– Keheningan sebelum anak panah dilepaskan
– Proses panjang yang tidak selalu langsung membuahkan hasil
Dan dalam hidup, kita juga bisa belajar mempercayai:
– Orang yang ingin mendukung sukses kita, jumlahnya lebih banyak dibanding orang yang berharap kegagalan kita.
– Bahwa diri kita memiliki kemampuan lebih besar dari yang dibayangkan, bila kita mau mempercayainya
– Kita perlu juga memiliki keyakinan bahwa terluka itu bagus untuk kita belajar cara menyembuhkannya, sabar menjalaninya, dan yakin hasil besar pada saatnya.
Trust bukan sekadar soal percaya orang lain. Tapi percaya bahwa kita mampu bertumbuh. Bahwa kita layak diberi kesempatan. Dan bahwa meski arah angin kadang tak menentu, kita masih bisa belajar mengatur napas, menarik busur, dan melepaskan dengan sadar.
Trust tumbuh dari:
1. Konsistensi – seperti latihan panahan yang berulang, tanpa terburu hasil
2. Kesadaran – hadir penuh dalam tiap proses
3. Kejujuran – mengakui ketakutan tanpa merasa lemah
4. Ketulusan – bahwa membangun hubungan tidak untuk menang, tapi untuk mengerti
Dan seperti saat posisi kita saat bersiap melepas anak panah, kita butuh satu hal penting untuk membangun trust: diam.
Diam untuk merasakan. Diam untuk mendengar. Diam untuk menimbang, sebelum akhirnya melepas.
Jika kamu sedang bergumul dengan trust issue, izinkan panahan menjadi latihan sunyi yang memulihkan. Bukan karena ia memberi jawaban cepat. Tapi karena ia membentuk ruang dalam dirimu untuk percaya kembali—sedikit demi sedikit, sampai cukup.
Karena pada akhirnya, anak panah tak akan pernah percaya pada busur yang goyah. Dan hati kita pun begitu.
Bangun kepercayaan bukan untuk menjadi sempurna, tapi agar bisa berdiri tenang, menarik busur, dan berkata dalam hati: ‘Aku siap. Aku percaya. Dan aku cukup.’