Suka Bilang: “Gue Sih Fleksibel”, Tapi Dalamnya Melepuh Ngaku-ngaku adaptable, padahal buntutnya burnout

Pernah ketemu orang yang kalau ditanya, “Kamu bisa ngerjain ini ya, tapi mendadak?” jawabnya, “Gue sih fleksibel”?
Ya, kadang orang itu… kita sendiri.

Katanya flexibility is key—fleksibilitas itu kunci sukses. Tapi kalau dipaksa buka pintu terus, lama-lama kuncinya aus, engselnya copot.

Ini cerita tentang kita-kita yang bangga banget jadi si paling adaptable. Apa aja bisa. Diminta ini bisa. Dikejar itu hayuk. Disuruh ubah rencana H-1? “Santai, gue fleksibel kok.”
Tapi nggak ada yang tahu, malam-malam pikiran kita kelayaban sambil overthinking, mata ngelirik to-do list yang makin mirip tagihan utang tidur: nambah terus, nyicilnya enggak.

Dari Adaptable ke Disposable

(Adaptable: bisa menyesuaikan diri. Disposable: gampang dibuang)

Zaman sekarang, jadi fleksibel tuh kayak skill wajib. Mirip kayak “bisa Excel”, padahal Excel-nya cuma bisa bold dan merge cells.
Tapi yaudah, asal keliatan lincah. Fake it ‘til you break it — pura-pura bisa sampai akhirnya patah beneran.

Kita kadang kejebak narasi toxic productivity: yang cepat menang, yang sibuk keren, yang tahan banting dapet urutan promosi paling depan. .
Akhirnya, demi jadi team player sejati, kita rela jadi people pleaser level dewa.
Kerjaan orang di-cover. Deadline mepet diambil. The real Weekend is Week Day, alias always pikiran ke kantor terus.
Fleksibel, katanya. Tapi kalau kita jujur, kita tuh bukan fleksibel—kita leaking energy like a broken faucet — bocor energi kayak keran rusak.

“Flexible” Is Not a Personality Trait

(Fleksibel itu bukan identitas diri)

Adaptable itu keren, tapi bukan berarti semua harus bisa, semua harus iya.
Ada perbedaan tipis—tapi beracun—antara “adaptable” dan “available 24/7” (bisa diakses terus tanpa henti).

Kita pikir kalau kita gesit, nggak banyak nanya, bisa semua, maka kita bakal dihargai.
Padahal yang sering terjadi, kita jadi go-to scapegoat when sht hits the fan* — kambing hitam pertama saat keadaan berantakan.

Kita bangga bisa ngikutin semua perubahan, padahal sebenarnya kita kehilangan arah. Kita nyebut itu growth, padahal sebenernya itu chaos dengan wifi.

Burnout: Si Bayangan Setia sama Si Paling Fleksibel

Lucunya, burnout tuh jarang datang dramatis. Dia pelan, diem-diem, kayak mantan yang tiba-tiba ngelike foto.
Tahu-tahu, kita bangun pagi tapi kepala berat. Bukan karena mikirin kerjaan, tapi mikirin “kok gue gini-gini aja ya?”
We call it “just tired”, tapi ternyata kita emotionally fried—mental kita udah kayak gorengan gosong.

Dan kita nggak sadar, burnout itu sering bukan karena beban, tapi karena nggak pernah bilang “cukup”.

Intinya Gini:

Jadi, pertanyaannya sekarang bukan “seberapa fleksibel lo bisa”, tapi “seberapa sadar lo mau pasang batas?”

Karena jadi adaptable bukan berarti jadi kantong dora emon yang  semua ada disana.
Dan bilang “nggak” bukan berarti lo drama queen, tapi itu tanda lo kenal diri.
Bukan semua harus diladeni. Bukan semua panggilan harus dijawab. Kadang, the real adaptability is knowing when to stop adapting — kemampuan adaptasi sejati justru tahu kapan harus berhenti berubah-ubah.

Buat Kamu yang Sering Bilang: “Gue Sih Fleksibel”

Kalau lo sering banget ngucap itu, tapi ujungnya lo ngerasa kayak ayam geprek ekstra level, mungkin saatnya lo tarik napas.
Re-define fleksibel: bukan soal siap ngikutin semua arah angin, tapi tahu kapan harus jadi batu karang.

Ingat:

  • You’re not a shapeshifter — Lo bukan makhluk jadi-jadian. Beruntung kalo loe jadi orang yang banyak tahu berbagai hal, tapi perlu batasi yang emang loe kuasai dengan bagus banget. Selebihnya akui saja bahwa ada orang yang lebih pas buat handle pekerjaan itu. Kalau dalam beberapa sudah terlihat hebat loe, pasti ada atasan yang bisa memahami. Daripada loe harus bertanggungjawab atas ilmu yang masih pas-pasan kan, karena bakalan ngga bagus buat semuanya.
  • Being always available doesn’t mean you’re valuable — Selalu tersedia bukan berarti lo berharga. Karena setiap orang pasti punya peran kontribusi yang juga penting. Kalau semua hal loe ambil, kan kasihan juga mereka yang mampu tapi ngga berani ambil inisiatif. Meskipun juga pasti ada saja yang pengennya ambil peran seminim mungkin. Ngga usah dipikirin, nanti juga ada waktunya mereka bayar utang jadi keteteran sendiri karena banyak gagal paham.
  • Saying “no” is not being rude. It’s being real — Bilang “nggak” itu bukan kasar, tapi jujur. Lagian selama ini komitmen loe untuk menciptakan nilai tambah buat perusahaan lewat pekerjaan secara berkesinambungan juga terbukti kan?

Kalau kamu ngerasa relate banget, mungkin ini bukan cuma artikel, tapi sinyal halus dari semesta buat pelan-pelan berhenti jadi “si paling bisa segalanya.”
Karena yang paling fleksibel… kadang juga paling butuh istirahat, butuh relaksasi produktif tapi bikin happy dan refresh..

Kalo udah gitu kayaknya latihan panahan adalah opsi yang paling kamu butuhkan. Dengan ketenangan, kamu bisa ngobrol dengan diri  sendiri yang mencoba pahami dari sudut pandang yang beda. Kantor hadir  untuk kebaikan semua orang, bahkan orang-orang yang jauh tapi dapat manfaat dari layanan service perusahaan tempat loe bekerja. Ngga semua sempurna, tapi selalu ada cara baru yang bisa bikin dirimu optimal tanpa beban batin berlebihan.

 

Similar Posts