Prestasi Anak Berawal dari Pendampingan, Bukan Dari Pengendalian Orang Tua
Bisa jadi kita beruntung pernah bergiat di olah raga saat muda, bahkan pernah dipercaya sebagai kapten tim sekolah, atau bahkan hanya penikmat olahraga sejati, pasti pernah tergoda ingin “menurunkan semangat juang” itu ke anak.
Ingin mereka mencintai dunia yang dulu membuat kita berbangga diri. Wajar. Tapi pertanyaannya: apakah anak-anak kita benar-benar ingin hal yang sama? Atau kita hanya ingin relive your glory days lewat mereka?
Dalam film On the Waterfront, Marlon Brando mengucap kalimat legendaris: “I coulda been a contender.” Kalimat itu menyuarakan penyesalan masa lalu—sebuah impian yang tak tercapai. Dan sayangnya, banyak orang tua membawa sisa impian itu ke masa depan anaknya. Padahal, hidup anak bukan sequel dari kisah kita yang belum selesai.
The Reverse Dependency Trap
Ada istilah psikologis yang cukup membuat kita perlu merenung: reverse dependency—saat orang tua menggantung harga diri dan rasa pencapaian pada kesuksesan anak, terutama di bidang olahraga atau prestasi.
Anak menang, orang tua sumringah. Anak kalah, ikut murung seharian. Tidak salah ikut senang, tapi bila terlalu dalam, kita bisa kehilangan batas: siapa yang sedang bertanding, dan siapa yang butuh pengakuan?
Kita mudah terjebak dalam narasi: “Saya kan cuma ingin anak saya punya masa depan yang baik.” Tapi jangan sampai yang sebenarnya kita maksud adalah: “Saya ingin anak saya jadi versi sukses dari saya yang dulu tidak kesampaian menang.”
Ego: Simpan di Saku, Jangan di Skor Pertandingan
Olahraga bukan sekadar ajang menang-kalah. Ia adalah laboratorium karakter. Tempat anak belajar soal komitmen, tangguh saat gagal, rendah hati saat berhasil. Tapi nilai-nilai itu hanya bisa tumbuh kalau anak punya ruang untuk menjadikan olahraga miliknya sendiri, media eksplorasi dia, sahabat dalam penjelajahan ka[pasitas diri. Bukan sekadar menjalani ekspektasi yang diwariskan.
Anak yang tumbuh dengan tekanan tak kasat mata untuk “memenuhi harapan”, sering kali kehilangan kesenangan berproses. Ia bisa menjadi juara, tapi kehilangan jiwa. Winning the race but losing the reason.
Naomi Osaka dan Pelajaran tentang Batas Diri
Salah satu contoh paling kuat datang dari Naomi Osaka. Petenis muda yang menaklukkan Serena Williams di final US Open 2018 saat usianya baru 20 tahun. Tapi puncak prestasi itu juga datang dengan tekanan luar biasa. Di tengah sorotan dunia, Naomi memilih mundur dari turnamen-turnamen besar untuk fokus pada kesehatan mentalnya.
Langkah itu mengundang kritik. Tapi ia juga menginspirasi gelombang baru dalam dunia olahraga: bahwa keberanian sejati bukan cuma tentang menang di lapangan, tapi juga jujur tentang batas diri, tetapi paham dimana saya harus menang.
Let the Child Lead, with You as the Compass
Ketika anak mulai mencoba olahraga, entah itu panahan, sepak bola, basket, atau renang—biarkan ia mengambil alih kemudi. Tugas kita adalah jadi kompas, bukan navigator dominan. Kita memberi arahan, tapi tidak mencengkeram.
Kalau anak bilang ingin berhenti sejenak, atau malah berpindah ke cabang olahraga lain, jangan langsung panik. Mungkin itu bukan tanda menyerah, tapi jeda untuk memahami dirinya lebih dalam. Ingat, a detour is not a dead end.
You’re the Wind, Not the Sail
Menjadi orang tua dari anak yang aktif dalam olahraga berarti menyadari bahwa kita bukan layar yang mengarahkan kapal mereka, tapi angin yang mendorong dari belakang—tanpa terlihat, tapi terasa.
Kalau anak kita mencetak gol, raih medali, atau menang pertandingan, rayakan itu. Tapi rayakan juga saat ia bangkit setelah kalah, saat ia tetap latihan meski malas, saat ia memilih disiplin tanpa diminta. Karena justru di situlah kemenangan sejati: building grit, not just glory.
Akhiri dengan Empati, Lanjutkan dengan Kepercayaan
Semua orang tua pasti ingin yang terbaik. Tapi “terbaik” versi siapa? Kalau kita mau jujur, kadang kita hanya ingin validasi—dari lingkungan, dari teman-teman, bahkan dari diri sendiri yang belum selesai berdamai. Maka, mari lepaskan sedikit demi sedikit beban ego itu. Karena saat kita ikhlas, anak akan jauh lebih leluasa untuk tumbuh.
Anak-anak kita bukan proyek. Ia bukan penerus kejayaan. Ia adalah manusia utuh, yang sedang mencari jalannya sendiri. Tugas kita? Menjadi dermaga tempat kapal mereka berlabuh aman, bukan pusat tekanan.
Bagusnya kita perlu selalu hadir di pinggir lapangan, atau menunggu di luar dojo, tanya ke diri sendiri: Apakah aku hadir untuk mendukung, atau untuk dikagumi banyak orang? Karena dalam jangka panjang, anak yang belajar mengambil keputusan sendiri—dan gagal dengan elegan—akan lebih kuat daripada anak yang selalu menang demi menyenangkan kita.
Karena medali bisa berkarat, tapi karakter bertahan seumur hidup.
