Hawthorne Effect: Diperhatikan atau Diawasi?

Kontras Care vs Kontrol

Pernah dengar cerita klasik soal eksperimen di sebuah pabrik di Chicago tahun 1920-an? Para peneliti ingin tahu, apakah pencahayaan ruang kerja bisa memengaruhi produktivitas pekerja. Mereka mencoba berbagai skenario: lampu dibuat lebih terang, lalu lebih redup. Anehnya, hasilnya sama saja—produktivitas naik, tidak peduli seberapa terang atau redup ruangan itu.

Kesimpulannya mengejutkan: yang membuat pekerja lebih semangat bukanlah lampu itu sendiri, tapi fakta bahwa ada orang yang memperhatikan mereka. Fenomena ini dikenal sebagai Hawthorne Effect.

Namun, kata “diperhatikan” di sini punya dua sisi makna. Dan inilah yang sering kita lewatkan. Dua Wajah dari “Diperhatikan”:

  • Diperhatikan sebagai bentuk kepedulian.
    Pekerja merasa ada pihak luar yang peduli dengan kenyamanan mereka. Bahkan sekadar mengganti pencahayaan dianggap sebagai upaya mencarikan solusi. Hasilnya? Mereka merasa dihargai, dan energi positif itu mengalir ke dalam kinerja.
  • Diperhatikan sebagai bentuk pengawasan.
    Mereka juga sadar sedang diawasi. Dan seperti pepatah “what gets measured, gets improved”, perilaku pun berubah. Kita semua pernah mengalaminya: lebih rapi kalau tahu ada CCTV, lebih fokus saat bos berdiri di belakang meja kita.

Kedua sisi ini sama-sama nyata. Pertanyaannya: dalam konteks kerja dan kepemimpinan, perhatian seperti apa yang kita pilih untuk berikan?

Care atau Control?

Di banyak organisasi, Hawthorne Effect sering disalahartikan. Atasan berpikir, “Kalau saya pasang lebih banyak kontrol, produktivitas pasti naik.” Benar, mungkin naik—tapi hanya sebentar. Seperti balon yang ditekan dari atas, cepat atau lambat tekanan itu akan pecah.

Sebaliknya, perhatian yang lahir dari kepedulian menciptakan efek jangka panjang. Bayangkan karyawan yang sadar: “Atasan saya tidak hanya melihat output saya, tapi juga peduli pada kesulitan saya.” Itu seperti bahan bakar emosional yang tidak mudah habis. Di sinilah perbedaan antara compliance (patuh karena diawasi) dan commitment (setia karena merasa didukung).

Efeknya pada Engagement. Banyak survei global tentang employee engagement menunjukkan pola yang sama: bukan gaji tinggi, bukan kantor mewah, bahkan bukan bonus tahunan yang paling menentukan loyalitas. Justru faktor sederhana: “Apakah saya merasa didengar dan diperhatikan?”

Tapi hati-hati, jangan salah kaprah. Diperhatikan bukan berarti diintervensi berlebihan. Ada garis tipis antara perhatian dan micromanagement. “Too much spotlight can blind the performer.” Terlalu banyak pengawasan justru membuat orang kehilangan kreativitas.

Refleksi untuk Pemimpin. Kalau kamu seorang leader, cobalah bertanya:

  • Apakah tim saya produktif karena mereka merasa diawasi, atau karena mereka merasa didukung?
  • Saat saya memberi perhatian, apakah itu untuk mencari solusi bersama, atau sekadar memastikan target tercapai?
  • Apakah orang di tim saya merasa lebih bebas berkembang saat saya hadir, atau justru merasa tertekan?

Pertanyaan ini mungkin sederhana, tapi bisa membuka banyak hal.

Beyond the Workplace. Uniknya, Hawthorne Effect bukan hanya milik dunia kerja.

  • Anak yang rajin belajar saat orang tua ikut duduk menemaninya—itu Hawthorne Effect.
  • Teman yang lebih konsisten olahraga karena selalu posting progress di media sosial—itu juga Hawthorne Effect.
  • Bahkan kita sendiri, lebih fokus saat ada yang menunggu hasil kerja kita.

Artinya, kebutuhan untuk diperhatikan itu universal. Kita semua ingin merasa dilihat, bukan sekadar dipantau.

Menutup dengan Satu Pertanyaan. Hawthorne Effect mengingatkan kita bahwa perhatian punya dua wajah: bisa jadi bahan bakar, bisa juga jadi belenggu. Care vs Control. Dukungan vs Pengawasan.

Jadi, mari kita refleksikan: saat orang-orang di sekitar kita merasa diperhatikan, apakah mereka merasa lebih ringan… atau justru merasa diawasi? Karena pada akhirnya, people don’t care how much you know, until they know how much you care.

 

Similar Posts